Kubah berbentuk bawang pada masjid-masjid yang lazim kita temui di Indonesia sebenarnya bukan sebagai pembentuk bangunan, akan tetapi lebih cenderung sebagai penanda saja. Penanda an sich bahwa bangunan tersebut sebagai tempat bersujud. Namun, entah sejak kapan dan bagaimana sejarahnya hingga di masyarakat ada kesepakatan bahwa apapun bentuk bangunan masjidnya, atapnya “harus!” berkubah bawang. Tulisan ini hendak mengendus apa gerangan yang menjadikannya keharusan. Ataukah ini sudah tergurat erat di alam bawah sadar masyarakat kita, bahwa masjid tidak ‘afdhol’ kalau tidak berkubah bawang. Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid komunitas/ kampung atau swadaya masyarakat, bukan milik perseorangan, badan usaha atau lembaga.
Pada
pembangunan masjid baru, bentuk denahnya bujur sangkar dan keberadaan
mihrab seolah wajib, karena alasan efisiensi jumlah dan barisan (shaf)
jamaah. Tetapi keberadaan mihrab secara syar’i masih belum tuntas
dibahas: apakah memang wajib atau tuntutan kebutuhan semata.
Kecenderungan kebutuhan ruang yang luas menuntut ruangan harus bebas
kolom. Hal ini berpengaruh pada pilihan sistem struktur dan bahan yang
digunakan. Sistem struktur rangka beton dan baja saat ini populer
diterapkan. Selain alasan kemudahan pada proses pemasangan (praktis),
ketersediaan bahan ini sangat tercukupi (baik bentang maupun jumlahnya),
berbeda halnya dengan kayu. Sekarang ini sangat jarang kayu digunakan
sebagai struktur konstruksi masjid (kecuali atap), dengan pertimbangan
harga yang relatif mahal dan waktu pengerjaan yang lama.
Beberapa modus operandi pembanguan masjid komunitas yang dilakukan adalah: pertama,
rancangan masjid dimintakan bantuan kepada konsultan perancangan
(arsitek, biro perancangan atau perguruan tinggi sebagai bentuk
pengabdian masyarakat). Walaupun ada dialog antara perancang dan
masyarakat tentang cita dan gagasan langgam dan citra masjid, tetapi
jika sang perancang tak kuat berargumentasi tentang bentuk masjid, maka
yang muncul adalah komentar warga: “mbok sampun mas, mboten usah aneh-aneh. Ingkang biasa mawon.” (sudah mas, tidak usah aneh-aneh, yang biasa saja). Akibatnya yang berlaku adalah bussines as unsual, atap kubah bawang is the best!
Kalaupun
rancangan bentuk atap bisa menghindari kubah bawang, secara perlahan
tapi pasti penandanya akan kembali ke kubah tersebut. Entah ditaruh di
menara, di atap serambi atau ditempelkan begitu saja di atap masjid
utama. Tak peduli apakah atapnya berbentuk tajug, limasan atau datar. “Kagem ilok-ilok mas, masjid kok mboten wonten kubahe,” (untuk pantas-pantas mas, masjid kok tidak ada kubahnya), begitu komentar mereka. Atap meru sudah tidak lagi mengesankan sebagai tempat suci.
Kedua,
masyarakat membentuk tim kecil (tukang dan mandor) dan mengirimkannya
ke masjid yang ingin ditiru, lalu tim kecil tersebut menggambar ulang (redraw) dan merekonstruksi masjid hasil survei (sama persis atau modifikasi) di kampungnya. Ketiga,
masyarakat memanfaatkan bangunan wakaf atau kas desa untuk masjid, atau
masyarakat berkeinginan untuk merenovasi surau atau musholla guna
meningkatkan status menjadi masjid. Metode konstruksinya menggunakan
sistem bertahap dan sirkileran (infaq-shodaqoh) dalam bentuk uang, bahan, atau tenaga.
Di beberapa daerah, donasi diwujudkan dalam bentuk bahan terpasang. Misalnya keramik, genteng atau mustaka. Seringkali mustaka atau hiasan didonasikan tanpa melihat padu padan dengan bentuk masjid secara keseluruhan. Dulunya mustaka hanya sebagai hiasan (nanasan) dan kubah sebagi pembentuk masjid. Sekarang makna mustaka
menjadi bias, hanya diartikan sebagai kubah bawang sebagai hiasan.
Barangkali ingin menyesuaikan dengan rambu lalu lintas di jalan yang
menunjukkan keberadaan sebuah masjid. Bentuk persegi dengan latar putih,
garis pinggir biru dan bergambar kubah masjid plus bulan dan bintang.
Sebenarnya lebih dulu mana, rambu lalu lintas tersebut atau masjid yang
ditandai?
Mungkin
juga dampak dari industrialisasi. Begitu mudah dengan harga relatif
murah mendapatkan kubah bawang berbahan aluminium atau seng dengan
berbagai variasinya (ada yang bisa berputar bila terkena angin, plus ada
lafadz Allah, bulan-bintang, bahkan bawang terbelah). Para donatur yang
budiman (mungkin) telah merasa sah dan afdhol dengan sumbangan
tersebut. Walaupun ikhlas, tetapi lebih baik lagi seandainya bantuan
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan konsep masjid yang disepakati
oleh jamaah.
Hal
ini juga bisa dipandang sebagai budaya vernakular (budaya yang
berkembang di masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat).
Vernakularisasi kubah bawang pada masjid lebih menarik jika berakar dari
budaya setempat dan bukan hanya sekedar hiasan. Tetapi mungkin juga,
hiasan tersebut sudah cukup bermanfaat bagi masyarakat sekitar tadi.
Paling tidak sebagai tanda bahwa masjid (atau lebih tepatnya masyarakat)
disitu “merasa” selev
el dengan masjid biru (the Blue Mosque) atau bangunan Aya Sofia di Istanbul, Turki.
Bentuk atap masjid, saat ini pilihannya sudah terpaku pada atap kubah atau atap tajug (plus kubah bawang atau hiasan nanasan). Seolah hanya bentuk ini yang akan “diterima disisi-Nya”. Padahal, tak
ada satu dalil pun di dalam Alqur’an maupun hadits Nabi yang mewajibkan
langgam dan ekspresi bangunan harus merujuk pada hal tertentu. Bahkan
ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Dan apabila sesuatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”.
Masyarakatlah
(mungkin dibantu desainer) yang paling berhak menentukan bentuk masjid
tanpa harus terikat buta pada pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya.
Masyarakat seyogyanya memperjuangkan penentangan terhadap sikap `taqlid`
(imitasi), yakni menerima tanpa memahami persoalan atau meniru dengan
membabi-buta. Termasuk imitasi dalam dunia arsitektur, walaupun tidak
diharamkan tetapi sangat disesalkan, sehingga pintu ijtihad untuk
menghasilkan gagasan-gagasan baru terkait dengan desain masjid harus
selalu dibuka lebar-lebar.
Masyarakat (dan arsitek) harus selalu berijtihad dengan nalar dan nalurinya untuk menelorkan karya-karya yang mengandung novelty (unique-genuine/ unik dan orisinil)
yang kreatif-inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat
bagi diri sendiri dan umat. Paling tidak, ada kreasi yang berbeda antara
satu masjid di suatu tempat dengan yang lainnya (local genius), tetapi tidak waton (asal) beda.
Yulianto P Prihatmaji
Juru Terang Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar